POTRET PERTANIAN PADI KONVENSIONAL PASCA 1998

Oleh:

Elisha Kartini & Susan Lusiana

PENGANTAR

I.1. Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok bangsa Indonesia. 95 persen masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai makanan utama (Surono, 2003). Kebijakan mengenai beras merupakan kebijakan yang sangat sensitif terhadap perekonomian Indonesia. Di Indonesia beras merupakan salah satu komoditas yang cukup berpengaruh dalam menentukan terjadinya inflasi. Pada awal tahun 2007 komoditas yang tertinggi mempengaruhi inflasi adalah beras, pada bulan Januari harga beras naik 5,6% dengan sumbangan yang paling signifikan bagi kenaikan inflasi yaitu 28,8%. (Siregar, 2007).  Selain itu kebijakan perberasan jelas memegang peranan penting dalam menentukan kedaulatan bangsa Indonesia. Sehingga pemerintah selalu turun tangan dalam mengatur masalah perberasan nasional. Salah satu kebijakan dan program nasional yang memfokuskan pada masalah perberasan yaitu revolusi hijau.

Revolusi Hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan dengan mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju. Dasar pengembangan revolusi hijau adalah teori yang dikemukakan oleh Thomas Robert Malthus mengenai perbandingan jumlah penduduk dengan peningkatan pangan, yang secara sederhana bisa dikatakan bahwa penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara-negara berkembang namun keadaan tersebut tidak sebanding  dengan peningkatan pangan. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan produksi pangan. Revolusi Hijau Diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada SEREALIA: padi, jagung, gandum, dan lain-lain.

Revolusi Hijau di Indonesia mulai dilakukan pada dekade 70-an. Dibawah kepemimpinan orde baru, revolusi hijau dilakukan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Namun demikian terbatasnya areal persawahan akibat pesatnya konversi lahan menyebabkan pengembangan revolusi hijau di Indonesia lebih banyak diarahkan pada intensifikasi pertanian yaitu melalui program Bimas dan Inmas. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu,  teknik pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan, pemberantasan hama, penggunaan bibit unggul. Akibatnya, pertanian tradisional diarahkan ke industri pertanian. Penguasapun mati-matian berusaha mensukseskan program. Ada program subsidi terhadap pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah, diberdirikannya Bulog, pembangunan irigasi dari pinjaman luar negeri, penanaman bibit yang seragam, hingga penyuluhan (Syumanda, 2005).

Dalam pelaksanaannya revolusi hijau dinilai berhasil dalam meningkatkan produksi beras nasional. Bahkan Indonesia sempat berswasembada dan mengekspor beras pada tahun 1985-1988 dan tahun 1990 (Wibowo, 2003). Namun demikian, ketika dampak negatif revolusi hijau mulai terbongkar, dapat dirasakan bahwa revolusi hijau ini sesungguhnya adalah suatu sistem pertanian yang justru membuat petani menjadi kaum yang semakin termarjinalkan. Sistem revolusi hijau yang bersifat tanam paksa untuk monokultur padi telah menyebabkan adanya penyeragaman pola makan, hal ini bisa kita lihat imbasnya pada masa sekarang ini, dimana masyarakat Indonesia sudah mengalami ketergantungan akut terhadap beras, pola makan sulit untuk diubah dan diversifikasi pangan sangat sulit untuk dilakukan. Selain itu, penggunaan benih transgenik karya MNC (Multi National Company) dan TNC (Trans National company) telah menurunkan keanekaragaman hayati terutama dalam varietas padi. Syumanda(2005) menyebutkan bahwa sebelum revolusi hijau Indonesia memiliki lebih dari 10.000 varietas padi, namun yang tersisa di petani sekarang ini hanya tinggal 25 jenis padi.

Dampak negatif lainnya yaitu disebabkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida- Penggunaan kedua input tersebut menyebabkan lahan dan lingkungan menjadi rusak, residu pestisida terbukti selain bersifat karsinogenik juga menyebabkan adanya mutasi pada serangga sehingga menyebabkan kelainan gen yang menyebabkan munculnya hama yang semakin resisten. Penggunaan kedua input diatas menimbulkan ketergantungan petani untuk terus menggunakan berbagai merek dan produk baru karya MNC  dan TNC dengan harapan dapat terus mempertahankan produksinya.

Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang membuat meningkatnya jumlah penduduk miskin di negara ini dan juga menumbangkan rejim pemerintahan Orde Baru yang telah memerintah selama lebih dari 3 dekade. Krisis ekonomi ini telah menyebabkan harga-harga barang melambung tinggi termasuk juga input-input produksi pertanian, dan semakin menyudutkan kondisi petani yang memang membutuhkan biaya produksi tinggi dalam model pertanian Revolusi Hijau. Tumbangnya pertumbuhan ekonomi berganti dengan kolapsnya bidang industri dan perbankan mendesak Indonesia untuk menerima tawaran pinjaman dana dari IMF dan World Bank. Goncangan krisis yang melanda perekonomian akhirnya menyeret Indonesia untuk menandatangani surat perjanjian (LoI) dengan IMF. Berbagai persyaratan IMF dipenuhi dengan alasan untuk pemulihan kondisi ekonomi. Structural Adjustment Programme (SAP) di perkenalkan sebagai alat untuk memperbaiki dan meningkatkan kehidupan ekonomi Indonesia melalui privatisasi, liberalisasi dan deregulasi.

Berbagai kebijakan terkait dengan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi telah menyeret Indonesia menjadi sapi perah bagi negara-negara adikuasa. Dengan liberalisasi, negara kaya bebas untuk masuk ke Indonesia dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Parahnya, liberalisasi terjadi diseluruh sektor ekonomi Indonesia, bukan hanya industri berat dan teknologi saja, bahkan beras pun ikut diliberalisasi. Liberalisasi beras terbukti telah menyengsarakan masyarakat Indonesia, baik itu petani ataupun masyarakat umum yang mungkin sebagian besar masih belum merasa dirugikan. Petani sebagai produsen pangan nasional jelas merupakan salah satu pihak yang paling dirugikan. Petani bukan hanya tergantung pada input yang berasal dari luar negeri saja, bahkan nasib petanipun terancam ketika impor beras sebagai realisasi dari liberalisasi terus-terusan dilakukan.

I.2. Tujuan

Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, petani selalu menjadi objek penderita. Ketika beras menjadi komoditas strategik, nasib petani belum tentu diuntungkan. Begitupun ketika produksi meningkat, petani belum tentu sejahtera. Nasib petani masih terus diperjuangkan hingga saat ini, berbagai kebijakan dari pemerintahpun dilakukan dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Revolusi hijau telah membawa dampak serius terhadap pola pertanian petani Indonesia. Dalam tulisan ini kami ingin mengetahui bagaimana pertanian konvensional ini masih bertahan ditengah era globalisasi ini dengan melihat kebijakan apa saja  yang dilakukan pemerintah untuk mensejahterakan petani setelah krisis berlangsung serta melihat dampak dari kebijakan liberalisasi terhadap para petani padi di Indonesia.

I.3  Kerangka Analisis

Untuk melihat kondisi petani padi Indonesia, kami melihatnya dari tiga keadaan, yaitu dari sisi input pertanian beserta kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyertainya, setelah itu kami melihatnya dari sisi produksi yang dihasilkan oleh petani, disamping itu dibahas juga mengenai impor beras dan beras selundupan sebagai salah satu kebijakan penting yang berimbas terhadap kehidupan petani. Selanjutnya akan dibahas mengenai kedudukan petani padi pasca panen, terutama dalam kebijakan harga, pasar dan distribusi.

Gambar.1. Kerangka Analisis.

PERTANIAN PADI KONVENSIONAL PASCA 1998

II.1. Input Produksi  Pertanian Padi dan Kebijakan yang Menyertainya

  1. 1. Lahan

Lahan merupakan input utama dalam proses produksi padi, berdasarkan sensus pertanian tahun 2003, total luas lahan panen padi adalah seluas 11.426.078 Ha, sementara itu rumah tangga pertanian yang terlibat dalam proses produksi padi ini sekitar 13.770.100 kepala keluarga, angka ini setara dengan 55% dari total rumah tangga pertanian. Persentase kepemilikan lahan  dari rumah tangga petani yaitu sebesar 82% petani memiliki lahan milik sendiri. Namun demikian, tingginya angka konversi lahan yang mencapai 40.000 hektar per tahunnya serta konversi sawah seluas 610.596 hektar menjadi permukiman dan tempat usaha dari tahun 2001 sampai 2003 (Kompas, 2004) menyebabkan setiap rumah tangga petani padi mengalami penurunan kepemilikan lahan. 74.64% dari RT petani padi  hanya memiliki lahan kurang dari 0.5 ha (Sensus pertanian, 2003), dengan rata-rata luas lahan yang ditanami padi sebesar  2.087,26m2 (Sensus pertanian, 2003).

Beberapa kebijakan yang menyangkut masalah lahan setelah tahun 1998 adalah sebagai berikut :

  1. Land Administration Project tahun 1995 dan 2001, Land Management Policy Reform Project tahun 2004. Proyek ini diinisiasi oleh World Bank, mulanya bertujuan untuk peningkatan petumbuhan ekonomi, meningkatkan kompetisi sektor swasta, mengurangi kemiskinan, meningkatkan manajemen publik, mendukung pengelolaan lingkungan untuk kepentingan komersil. Kebijakan ini berdampak pada peningkatan dukungan sektor swasta dengan memberikan keleluasaan untuk memasuki pasar tanah di Indonesia
  2. Kepres No.34/2003 Tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan. Keppres ini mengatur sistem manajemen pertanahan sebagai awal rencana untuk merevisi UUPA 1960
  3. Pepres No.65/2005 sebagai revisi Pepres No.36/2005 yang mengatur pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum. Pepres ini banyak menuai protes dari kalangan petani karena dinilai tidak memberikan akses bagi petani atas tuntutan lahan yang selama ini diperjuangkan, pemerintah malah menomorsatukan penggusuran lahan petani atas nama pembangunan.
  4. Program pembaharuan agraria nasional (PPAN) melalui rencana pembagian lahan seluas sekitar 17,15  juta ha sebagai bagian dari pelaksanaan UUPA 1960. Program ini di inisiasi pada bulan Oktober 2006, namun sampai sekarang masih belum direalisasikan, pemerintah berjanji bahwa 11.05 juta ha  dari lahan tersebut akan diberikan kepada petani, sisanya akan diberikan kepada sektor swasta baik dalam ataupun luar negeri. (9 juta ha eks HPH/HTI=60% untuk petani, sisanya untuk swasta, dan 8.15 juta ha =5.65 juta ha untuk petani, dan sisanya untuk perkebunan sawit dan tebu (Medan bisnis, 29 September 2006))

  1. 2. Air

Selain lahan, air memegang peranan penting dalam produksi padi. Irigasi merupakan masalah penting yang harus segera diselesaikan untuk bisa meningkatkan produksi padi. Kondisi waduk-waduk di Indonesia untuk irigasi semakin memprihatinkan sehingga seringkali sulit mengalirkan air ke lahan pertanian (Kompas, 2004). Rata-rata 20 persen saluran irigasi mengalami kerusakan berat. Kerusakan irigasi teknis itu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, alam, faktor usia, faktor manusia, serta tidak berfungsinya saluran irigasi di beberapa tempat, hal ini bisa dilihat dari persentase fungsi irigasi tersebut, irigasi dikatakan rusak apabila hanya bisa berfungsi 30 persen dari fungsi normalnya (Kompas, 2004).

Kebijakan paling spektakuler menyangkut air yaitu lahirnya UU No. 7 tahun 2004 tentang privatisasi air. Undang-undang ini dinilai telah melanggar hak warga negara Indonesia terutama kaum tani yang menjadi subjek utama pertanian. Sumber-sumber air diberikan pengelolaannya kepada sektor swasta tanpa ada batas yang jelas, akibatnya, petani kesulitan dalam mengakses air. Bahkan petani mengeluarkan biaya tambahan untuk mengakses air dengan membeli atau menyewa pompa air ataupun membuat sumur bor. Pasal yang jelas-jelas bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 diataranya pasal 40, 41 dan 45. Pasal 40 ayat 4 menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengadaaan air minum. Kemudian pasal 41 ayat 5 menyebutkan bahwa pengembangan irigasi dapat dilakukan oleh kelompok petani ataupun pihak lain (dalam ini tidak ada kejelasan mengenai kata ‘pihak lain’). Selain itu pada pasal 45 ayat 3 lagi-lagi pemerintah memperbolehkan perseorangan, badan usaha ataupun kerjasama antar badan usaha untuk mengelola sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai.

  1. 3. Benih, Pupuk dan Pestisida

Kebijakan menyangkut perbenihan, pupuk, pestisida di Indonesia tidak memberikan insentif kepada petani. Ketika petani sudah mulai mengalami ketergantungan terhadap input-input pertanian yang berasal dari luar negeri akibat revolusi hijau yang dahulu didengung-dengungkan, pemerintah malah semakin menghilangkan insentif bagi petani dengan mencabut subsidi input-input tersebut.  Sejak AoA tahun1994 dan lahirnya UU no.7/1994 (pengesahan keanggotaan WTO),  pemerintah mencabut subsidi pupuk dan benih setelah pada tahun 1989 subsidi pestisida dicabut. Subsidi pupuk dicabut 2 Desember 1998, diikuti dengan liberalisasi ekonomi pupuk yang sebelumnya dimonopoli Pusri  dan mulai diliberalkan. Pada tahun 2002 diberlakukan kembali subsidi  pupuk dan benih, namun pada tahun 2003-2006 subsidi pupuk hanya 0.06, 0.04, 0.07 dan 0.07 % dari PDB dan untuk benih kurang dari 0.01 %   ( sementara itu subsidi BBM mencapai  2.3-3% ) (Handoko and Patriadi, 2005).

Subsidi dilakukan tidak secara langsung ke petani, melainkan melalui produsen. Hal ini memungkinkan perusahaan me-mark up biaya produksinya dan otomatis uang subsidi menjadi pendapatan ekstra untuk perusahaan. Meskipun subsidi saudah dilakukan, harga pupuk meningkat terus seiring dengan meningkatnya harga kebutuhan hidup lainnya. Sayangnya HPP (harga pembelian pemerintah) untuk gabah dari petani belum juga dinaikkan semenjak ditetapkannya HPP GKP sebesar 1.750/Kg melalui Inpres No.13 Tahun 2005 lalu yang nyatanya baru di implementasikan awal tahun 2006 setelah harga-harga barang naik dari mulai Oktober 2005.

Keganjilan lain terkait dengan masalah penyediaan pupuk, kerap terjadinya kelangkaan pupuk salah satunya adalah karena ternyata menurut Tempo (2005) data yang digunakan untuk meminta pupuk di Departemen Pertanian masih menggunakan data tahun 1975 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Perlu dipertanyakan mengapa Departemen Pertanian masih menggunakan data yang sudah kadaluarsa ini. Padahal data ini diperlukan untuk distribusi pupuk karena menurut Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kab. Cirebon, Ir. Ali Efendi, M.M. distribusi pupuk tersebut akan dikendalikan sesuai dengan kebutuhan. Artinya, jika di suatu kawasan pertanian belum melakukan penanaman, di daerah tersebut belum dilakukan pasokan pupuk. Jadi pupuk tidaklah langka, karena stok di gudang Pusri tersedia (Pikiran Rakyat, 2005), namun jika data yang digunakan sudah tidak akurat bagaimana distribusi bisa berjalan baik.

Selain itu LoI dengan IMF tahun1997 tentang privatisasi, liberalisasi dan deregulasi di tengah sistem pertanian konvensional nyatanya hanya menguntungkan TNC (Trans National Company) dan MNC (Multi National Company) yang bergerak disektor benih transgenik, pupuk dan pestisida saja. Dengan sistem pertanian konvesional, petani membayar mahal untuk kebutuhan benih transgenik, pupuk dan pestisida produksi MNC dan TNC tersebut (Rahardi, 2007). Cerdiknya strategi dagang yang dilakukan MNC dan TNC juga telah menjebak petani. Dilapangan seringkali ditemui sistem paket benih-pestisida produk TNC dan MNC. Dengan iming-iming hasil produksi yang tinggi, petani didorong untuk menggunakan benih tertentu sekaligus dengan pestisida yang dihasilkan oleh perusahaan yang sama.

Kebijakan hak paten yang tadinya bertujuan untuk melindungi kekayaan intelektual negara-negara tertindas saat ini malah menjadi alat pemukul balik petani. Berbagai kasus pelanggaran hak paten telah dituduhkan kepada petani yang mencoba menangkar benih mandiri karena benih transgenik produk TNC dan MNC  tidak memberikan keuntungan bagi petani (WALHI, 2005). (contoh : benih hanya mampu untuk ditanam, setelah itu hasil anakannya tidak akan tumbuh apabila dijadikan benih kembali). Contoh lain ketidak berpihakkan pemerintah kepada petani adalah lisensi penjualan padi hibrida varietas Maro yang dikembangkan Balai Penelitian dan Pengembangan Padi (Balitpa) Deptan, sehingga Dupont berhak memonopoli produksi dan pemasaran bibit padi tersebut.  Hal ini dilakukan dengan alasan keuntungan nantinya akan digunakan oleh Balitpa untuk mengembangkan varietas hibrida lainnya. Walaupun demikian, hal ini tentu akan lebih menguntungkan bagi TNC pertanian seperti Dupont yang memegang hak monopoli (Hernanda, 2007).

  1. 4. Modal

Modal bagi petani selalu menjadi permasalahan utama, kurangnya kepercayaan sektor perbankan  dan lembaga keuangan  menjadikan petani sulit mengakses modal, selain itu ulah orang-orang tidak bertanggung jawab yang mengatas namakan petani telah membuat petani masuk kedalam blacklist kredit perbankan. Pada tahun 1998/1999, dibawah menteri UKM pada saat itu telah dikucurkan kredit usaha tani sebesar 8 trilyun rupiah, dari nilai tersebut, 6 trilyun diantaranya macet hingga tahun 2003 (Kompas, 2003). Sebagian besar kredit macet berada ditangan para pengurus kelompok tani, koperasi ataupun LSM yang mengatasnamakan petani. Disinyalir dari total KUT tersebut yang terserap benar-benar oleh petani hanya sekitar 30% nya saja (Nainggolan, 2004).

Sistem pinjaman dari lembaga keuangan seperti bank juga seringkali tidak berpihak kepada petani, buktinya realisasi dana pinjaman kepada petani yang dijamin oleh pemerintah pada tahun 2006 hanya Rp 50 milliar, padahal jaminan yang telah disiapkan mencapai Rp 255 miliar. Hal ini karena perbankan masih mengharuskan petani memberikan agunan untuk mendapatkan kredit, walaupun pinjaman ini sudah medapatkan dana jaminan dari pemerintah yang berharap bahwa realisasi pinjaman bisa mencapai lima kali lipat dari jaminan atau sekitar Rp 1,3 triliun (Bisnis Indonesia, 2007).

  1. 5. Alsintan (alat penghasil tani) Padi

Biaya alat produksi padi telah menjadi beban yang semakin bertambah akibat  peningkatan harga BBM. Harga sewa traktor, pompa air, thresher, dan huller meningkat, sementara itu seluruh peningkatan biaya operasional ditanggung oleh petani  (Kariyasa, 2006). Penurunan subsidi BBM juga telah meningkatkan harga sewa traktor 10% dan biaya Tenaga Kerja 10%, hal tersebut berimbas pada penurunan output sebesar 14.2% and pendapatan petani sebesar18.7% (Siagian, 2006). Pengurangan subsidi BBM ini dilakukan berdasarkan UU no.22/2001 yang lahir akibat ditandatanganinya  LoI dengan IMF tahun 1998.

Keberadaan alsintan di Indonesia juga masih belum mencukupi. Berdasarkan data dari dirjen sarana pertanian tahun 2003, keberadaan alsintan di Indonesia berfluktuatif dari tahun 1998-2002. Hanya dryer dan pompa air saja yang mengalami peningkatan terus menerus, hal ini diduga karena adanya situasi anomali cuaca yang tidak bisa diduga oleh petani, yang menyebabkan petani harus selalu siap dengan kondisi alam yang ada. Tahun 2002 jumlah traktor di Indonesia mencapai 101.443 Unit, tresher sebanyak 347.658 unit, 216.643 unit pompa air, 5.045 unit dryer, 46.123 Penggilingan Padi. Sementara itu Surono (2003) menyebutkan bahwa keberadaan penggilingan padi  sangat kurang, hal ini menyebabkan usaha penggilingan padi memiliki ruang gerak yang leluasa untuk meraup keuntungan. Bisa dibayangkan apabila pada tahun 2002 hanya terdapat penggilingan sebanyak 46.123 unit, sedangkan pada waktu itu terdapat 62.806 desa (BPS, 2002), apabila dirata-rata, maka setiap desa belum tentu memiliki penggilingan padi. Hal ini sangat ironis mengingat penggilingan padi merupakan salah satu elemen dalam rantai distribusi beras yang memiliki peranan penting. Kompas (2005) malah menyebutkan bahwa traktor, tresher dan penggilingan padi terancam tidak beroperasi karena adanya peningkatan harga BBM tahun 2005.

  1. 6. Iklim

Iklim menjadi salah satu faktor produksi bagi petani padi, namun demikian, iklim ini merupakan faktor eksternal yang sama sekali tidak bisa dikendalikan. Sehingga kadangkala iklim bisa menghambat produksi padi. Anomali iklim yang terjadi sekarang ini seringkali menjadi alasan bagi elit politik untuk mempermainkan harga beras dan melakukan import. Salah satu anomali cuaca yang terjadi di Indonesia antara lain fenomena El Nino dan La Nina. Irawan (2006) menyebutkan bahwa La Nina meningkatkan produksi pangan sebesar 1.08 persen, sementara itu El Nino menurunkan produksi pangan sebesar 3.06. El Nino dan La Nina seringkali terjadi pada bulan September- Oktober serta April-Mei. Namun demikian, Winarso (2001) menyebutkan bahwa kondisi iklim di Indonesia masih sulit untuk diprediksi hingga tahun 2010 nanti, hal ini dikarenakan adanya perubahan cuaca dan iklim yang ekstrim. Fenomena El Nino inilah yang saat ini dijadikan alasan bagi pemerintah untuk membuka import beras besar-besaran sepanjang siklus tanam April 2007 hingga Maret 2008 karena takut akan dampak kekeringan akibat El Nino, walaupun berdasarkan kajian BMG  tidak teridentifikasi adanya El Nino hingga pertengahan paruh kedua tahun ini (Kusumo, Girsang & Zaenudin, 2007).

7. Koperasi

Koperasi sebenarnya merupakan organisasi petani yang efektif, apabila dijalankan sesuai dengan azasnya. Koperasi bisa menjadi wadah berasama untuk meningkatkan posisi tawar petani. Namun berbagai kebijakan pemerintah telah membuat koperasi tani menjadi tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Banyak orang yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan koperasi tani untuk mendapatkan pinjaman atau kredit tani, hal ini terjadi pada tahun 1998/1999  ketika pemerintah mengucurkan KUT sebesar 8 trilyun (Kompas, 2003). Saat ini koperasi tani sudah banyak yang tidak berjalan karena petani tidak mampu menjalankan operasional koperasi, selain itu ulah para pengurus terdahulu yang menyalahgunakan koperasi tani telah membuat petani dikejar-kejar petugas penagih KUT.

Kebijakan Top Down yang dahulu dilakukan ketika masa revolusi hijau telah menghapus kearifan lokal masyarakat tani yang sebenarnya memiliki sikap dan pola hidup gotong royong. Dibentuknya KUD untuk menampung hasil produksi pada masa Bimas dan Inmas tidak berlandaskan keinginan dan kesadaran dari petani. Manajemen KUD diatur oleh ahli koperasi yang kebanyakan bukan berasal dari petani sendiri, bahkan  banyak diantaranya koperasi yang menggunakan managemen perusahaan. Disinilah hukum perusahaan dimulai, dengan ketidakpahaman petani akan berbagai sitem managemen yang sama sekali asing bagi mereka, maka sudah jelas bahwa petani akan mudah sekali untuk dibohongi.

II.2. Produksi, Impor Beras, Beras Selundupan dan Kebijakan

Sejak dimulainya revolusi hijau, produktivitas  pertanian konvensional bertahan pada angka sekitar  4 hingga 5 ton/hektar. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi padi mengalami fluktuasi hingga tahun 2006. Sementara luas lahan mengalami trend penurunan, produktivitas masih bertahan dan memiliki kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 terjadi penurunan produksi, ini disinyalir karena adanya fenomena El Nino yang menyebabkan petani kesulitan memperoleh air. Sementara itu, pada tahun 2004 terdapat pertumbuhan produksi yang tinggi, diduga kebijakan pemerintah yang mengelurakan peraturan untuk tidak impor beras menjadi insentif bagi para petani. Begitupun dengan peningkatan produktivitas padi mulai tahun 2002 bisa bertahan dan meningkat diduga sebagai dampak dari diberikannya kembali subsidi pupuk bagi para petani yang sebelumnya sudah dicabut pada tahun 1999.

Tabel.1. Hasil Produksi Beras Dalam Negeri Tahun 1998-2006

Tahun

Luas panen (Ha)

Produktivitas (Kw/ha)

Produksi (Ton)

Laju produksi (%)

1998

11.730.325

41.97

49.236.692

-0.28

1999

11.936.204

42.52

50.886.387

3.35

2000

11.793.475

44.01

51.898.852

1.99

2001

11.499.997

43.88

50.460.782

-2.77

2002

11.521.166

44,69

51.489.694

2,04

2003

11.488.034

45,38

52.137.604

1,26

2004

11.922.974

45,36

54.088.468

3,74

2005

11.839.060

45,74

54.151.097

0,12

2006

11.854.911

46,11

54.663.594

0,95

Sumber: BPS, 2007

Sementara itu, dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan stok dan konsumsi dalam negeri pemerintah melakukan impor. Parahnya pada tahun 1999 tarif impor beras mencapai 0 persen, baru kemudian pada tahun 2000 tarif impor beras disepakati menjadi RP.430/Kg. Larangan sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga selama panen raya oleh Menperindag Rini MS Soewandi dilakukan pada 10 Januari 2004. Namun demikian larangan tersebut hanya sebuah wacana saja, pada implementasinya, impor tetap dilakukan. Dibawah ini data impor beradasarkan data dari BPS dan The Rice Report (TRR).  Adanya gap antara data BPS dan TRR menunjukkan adanya beras seludupan yang tidak terdeteksi oleh pemerintah.

Dari tabel 2 terdapat gap antara data impor dari BPS dan TRR, hal ini menunjukkan bahwa ada beras ilegal yang beredar di Indonesia. Data TRR merupakan data impor beras dari negara pengekspor, sedangkan data BPS adalah data impor beras yang tercatat secara sah. Adanya beras selundupan tersebut mengindikasikan bahwa perdagangan  bebas yang disurakan oleh WTO, IMF dan world bank sesungguhnya memberikan peluang yang lebih besar bagi para penyeludup.

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa impor terus dilakukan dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Namun demikian konsumsi beras dalam negeri yang meliputi konsumsi beras rumah tangga dan industri menunjukkan nilai jauh lebih sedikit dari pada angka yang tercantum pada data produksi beras nasional. berikut ini dapat dilihat data konsumsi dari USDA dan hasil perhitungan konsumsi dengan menggunakan asumsi BPS. Data USDA memberikan nilai yang lebih tinggi, hal ini bisa dimengerti mengingat USDA berada dipihak USA yang menginginkan proses pemulusan ekspor berasnya ke Indonesia.

Tabel 2. Jumlah Impor Beras Tahun 1998-2007 (Ton)

Tahun

Volume Impor dari BPS

Volume Impor dari TRR

1998

NA

6,077,000

1999

NA

4,183,000

2000

NA

1,512,000

2001

644,733

1,384,000

2002

1,805,380

3,707,000

2003

1,428,506

2,750,000

2004

236,867

632,000

2005

189,617

304,000

2006

210,000

840,000

2007

1,500,000

NA

Sumber: The Rice Report dan BPS, 2007, * NA: data tidak tersedia

Sementara itu menurut Departemen Pertanian berdasarkan perhitungan dari BPS, pada tahun 2007 ini diperkirakan konsumsi beras per bulan di Indonesia adalah sebesar 2.6 juta ton, angka ini meliputi konsumsi rumah tangga yang dihitung sebesar 115 Kg/kapita/tahun ditambah dengan konsumsi perusahaan, industri dan sebagainya sehingga apabila ditambahkan dengan konsumsi rumah tangga total rata-rata keseluruhan dapat dihitung sebesar 139.15 Kg/kapita/tahun. Angka yang diperoleh apabila diperhitungkan yaitu dalam setahun konsumsi nasional mencapai 31.2 juta ton, sebuah angka yang berada jauh dibawah produksi nasional. Pertanyaannya adalah, kemanakah selisih produksi-konsumsi tersebut dan mengapa kurangnya stok nasional selalu menjadi alasan pemerintah untuk melegitimasi impor beras?.

Tabel 3. Konsumsi Beras Indonesia (Ton)

2002/2003

2003/2004

2004/2005

2005/2006

2006/feb 2007

36.500.000

36.000.000

35.850.000

35.800.000

35.850.000

Sumber: USDA,2007

II.3  Pasca Produksi dan Kebijakan

Kegiatan pasca produksi padi lebih banyak diperankan oleh elemen-elemen diluar petani. Hal ini disebabkan banyak dari para petani yang menjual hasil panennya bahkan ketika padi masih belum dipanen (Surono, 2003). Untuk harga, petani hanya bisa menjadi price taker, sementara itu banyak pihak yang memanfaatkan tidak transparanya informasi pasar untuk bisa mengambil margin keuntungan sebesar-besarnya.

Didesak kebutuhan akan uang cash untuk keperluan hidup rumah tangga ataupun untuk kepentingan penanaman musim selanjutnya menyebabkan petani lebih memilih untuk menjual hasil produksi padinya. Sistem penyimpanan gabah untuk stok mandiri sudah jarang ditemukan. Dalam menjual gabahnya petani sudah memiliki jalur ditribusi sendiri. Jalur distribusi yang panjang mulai dari petani hingga konsumen juga berpengaruh besar dalam meningkatkan harga eceran beras. Salah satu pihak yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan harga jual beras di pasaran adalah penggilingan yang memperoleh margin keuntungan yang cukup besar dalam rantai distribusi ini. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada tahun 1999 yang disponsori oleh Management and Organizational Development for Empowerment (MODE) yang memperlihatkan bahwa penggilingan padi mendapat margin keuntungan yang paling besar dalam ramtai distribusi yaitu sebesar Rp 954,89/kg (harga pembelian Rp 1387,50/kg dan harga penjualan Rp 2425/kg) (Arifin et al, 2001). Surono (2003) yang melakukan penelitian di Boyolali Jawa Tengah juga menjelaskan dalam makalahnya bagaimana penggilingan padi mendapat margin keuntungan sebesar 65% dalam model pertanian “konvensional” sementara petani padi sendiri mendapatkan margin keuntungan terkecil dibandingkan semua aktor lain yang terlibat dalam distribusi  beras yaitu hanya sekitar 15% (Sekitar Rp.141.33/ Kg).

Distribusi beras juga mulai mengalami goncangan ketika dimulainya liberalisasi pangan. Dengan adanya liberalisasi pangan, lembaga yang tadinya sangat berperan dalam distribusi beras di Indonesia mulai di intervensi oleh kepentingan profit.  Sejak 1997 peran Bulog dilemahkan dengan penandatangan LoI antara IMF dengan pemerintah. Pada 20 Januari 2003, Bulog berubah dari LPND menjadi Perum dengan PP RI no.7/2003. Sementara itu, liberalisasi beras dimulai sejak tahun 1998 dengan Kepres RI No.19/98. Pada tahun yang sama Bulog melakukan operasi pasar khusus JPS yang kemudian menjadi Raskin tahun 2001, beras tersebut dialokasikan untuk masyarakt miskin dengan harga Rp.1.000/Kg. Peran Bulog yang utama sebelum dirubah menjadi Perum yaitu untuk menjaga stabilitas harga beras dipasar melalui pembelian gabah petani ketika panen raya dan penjualan beras operasi pasar ketika terjadi paceklik. Sayangnya ketika Bulog berubah menjadi Perum, maka Public Service Obligation-nya tidak dijalankan dengan baik. Dengan perubahan statusnya menjadi Perum, Bulog tidak diberikan kredit likuiditas Bank Indonesia lagi, melainkan sudah menggunakan kredit usaha yang memiliki tingkat suku bunga kredit usaha yhang lebih tinggi, sehingga dengan seperti itu orientasi profit menjadi nomor wahid.

Harga pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan dengan Inpres no.13/2005 dengan harga Rp1750/kg. Dengan harga tersebut Bulog selalu mencari alasan untuk tidak membeli gabah dari petani, tetapi memilih untuk membeli beras dari luar negeri karena harga lebih murah dan bisa memberikan keuntungan bagi Bulog. Selain itu monopoli impor beras oleh Bulog dicabut pada akhir 1999, sehingga impor terbuka bagi siapa saja menyebabkan impor menjadi tidak terkontrol seperti yang sedang terjadi saat ini. Berikut ini ditampilkan  alur distribusi beras menurut Bulog  dan alur real distribusi beras yang terjadi saat ini.

Gambar.2. Alur Distribusi Beras (Bulog,2004)

Gambar 3. Alur Real Distribusi Beras (FSPI, 2007)

Berdasarkan gambaran ketiga elemen diatas yang meliputi input produksi pertanian padi, ketersediaan beras (produksi, beras impor dan selundupan) serta pasca produksi padi beserta kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyertai ketiganya maka dapat tergambar betapa sulitnya petani mendapatkan keuntungan dari sektor pertanian. Tak ada sama sekali insentif bagi petani, dan lambat laun sektor ini akan kehilangan peminatnya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak mampu meningkatkan kesejateraan petani, malah kebijakan-kebijakan yang ada dan yang baru dikeluarkan semakin menyengsarakan kaum tani Indonesia.

Adanya mindset petani untuk menjual padinya langsung setelah panen untuk mendapatkan uang cash, menjadikan petani sebagai net consumer beras. Dengan harga input pertanian yang tinggi, tidak tersedianya lahan garapan, murahnya harga jual gabah, serta tingginya harga beras seperti sekarang ini telah menimbulkan penderitaan bagi petani. Untuk lebih mengetahui sekilas tentang kesejahteraan petani dari segi pendapatannya, berikut ini perhitungan pendapatan petani di cirebon pada bulan February 2007.

  • Pengeluaran usaha tani

Perhitungan Biaya Produksi (1Ha lahan/musim tanam) dari petani Cirebon:

  1. Traktor                                                       = Rp    600.000
  2. Pengolahan tanah: Rp 30.000 x 12            = Rp    360.000
  3. Benih: 20 kg = Rp 34.000/5 kg x 4            = Rp    136.000
  4. Ongkos tanam                                            = Rp    200.000
  5. Perawatan/Semprot Rumput                      = Rp    750.000
  6. Furadan                                                      = Rp    320.000
  7. Pupuk (6 kuintal): 123.000 x 6                  = Rp    738.000
  8. Obat-obatan                                               = Rp 1.100.000
  9. Sewa lahan: Rp 5.000.000/2 musim           = Rp 2.500.000
  • Total = Rp 6.704.000
  • Pendapatan

Rata-rata hasil produksi / Ha/ Musim tanam = 4 ton x Rp 2200 (HPP) = Rp 8.800.000

  • Laba = Rp 8.800.000 – Rp 6. 704.000

= Rp 2.096.000/4 bulan musim tanam

= Rp 524.000/ bulan= Rp 17.500/hari.

Selain itu berdasarkan data primer (Desember 2006) di Sukabumi, petani biasanya juga mendapatkan pendapatan sampingan dari bekerja sebagai buruh ataupun ojek dan penjualan ternaknya sekitar Rp. 150.000-200.000/bulan. Namun demikain, tidak semua rumah tangga petani mendapatkan pendapatan sampingan sebesar itu, bahkan ada beberapa petani yang hanya mengandalkan padi hasil garapannya sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Sementara itu, pengeluaran RT pertanian per bulan mencapai Rp.700.000/bulan yang terdiri dari konsumsi pangan rata-rata Rp 500.000/bulan dan konsumsi non pangan (bahan bakar, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, iuran) rata-rata Rp 200.000/bulan. Meskipun secara kasar dapat dilihat bahwa petani bisa mencukupi kebutuhannya namun secara perhitungan dengan menggunakan indikator kemiskinan dapat dibuktikan bahwa petani belum mencapai tingkat kesejahteraan yang layak, selain itu belum tentu semua petani mendapatkan pendapatan sampingan sejumlah nilai diatas.

Dari contoh kasus diatas, kami ingin mengetahui kondisi ataupun keberadaan petani dilihat dari sisi pendapatannya. Untuk itu kami menggunakan indikator kemiskinan untuk lebih memudahkan dalam melihat realitas pertanian yang sekarang ini terjadi di Indonesia. Berikut ini merupakan indikator kemiskinan menurut BPS, bank dunia dan sajogjo. Menurut BPS, seseorang dikatakan miskin jika konsumsi kurang dari 2100 Kal/orang/hari. Sedangkan menurut Bank dunia, definisi kemiskinan yaitu jika pendapatan kurang dari 1 US$/hari, dan menurut Sajogjo, kemiskinan dianalisis berdasarkan tempat terjadi. Kemiskinan di pedesaan terjadi apabila pendapatan kurang dari 320 Kg nilai tukar beras/orang/tahun, sedangkan diperkotaan kurang dari 420 Kg nilai tukar beras/orang/tahun.

Dalam makalah ini kita menggunakan dasar perhitungan menurut BPS dan Sajogjo untuk melihat contoh kasus diatas. Perhitungan menurut Bank Dunia tidak digunakan dikarenakan adanya masalah PPP (price purchasing parity) yang menimbulkan bias karena perbedaan daya tukar dollar dari suatu negara dengan negara lainnya.  Berdasarkan perhitungan kemiskinan menurut BPS, maka jika satu kali makan seseorang mengkonsumsi 304 gram(605 Kal) beras maka untuk memenuhi 2100 Kal diperlukan 1.32 liter beras/orang/hari, jika harga beras pada waktu pengambilan data adalah  Rp.5.000/liter, maka minimal pendapatan/orang/hari sebesar Rp.6.600, jika asumsi dalam keluarga petani terdapat 4 orang anggota, maka pendapatan minimun keluarga/hari adalah Rp.26.400, sehingga untuk memenuhi pendapatan tersebut berdasarkan perhitungan ongkos produksi dan keuntungan diatas maka minimal harga penjualan gabah yang layak adalah sebesar Rp.3.320/kg.

Sementara itu berdasarkan metode perhitungan Sajogjo yang menyebutkan garis kemiskinan desa minimal sebesar 320 Kg nilai tukar beras (Setara 400 liter) maka jika harga beras Rp.5.000/liter, diperoleh minimal biaya hidup/orang/tahun sebesar Rp. 2.000.000, apabila asumsi dalam satu keluarga terdapat 4 orang anggota, maka pendapatan minimum/ tahun adalah Rp.8.000.000, sehingga untuk memperoleh pendapatan sekian minimal harga jual gabah adalah 4.200/Kg.

PENUTUP

Makalah ini memperlihatkan bahwa sistem pertanian Revolusi Hijau yang membutuhkan input besar tidak dapat memberikan keuntungan yang besar pula bagi para petani, apalagi setelah krisis ekonomi yang menjatuhkan nilai rupiah dan mendorong laju inflasi yang sangat pesat. Walaupun secara umum kondisi perekonomian Indonesia nampak membaik namun bagi banyak orang terutama rakyat kecil yang sebagian besar diantaranya adalah petani kondisi hidup mereka justru makin terpuruk. Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada petani seperti liberalisasi dan privatisasi berbagai sektor yang mendukung proses produksi dan distribusi bidang pertanian telah menyebabkan menurunnya Nilai Tukar Petani (NTP) dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada penurunan kualitas hidup mereka.

Berdasarkan hasil perhitungan maka HPP untuk GKP di tingkat petani (berdasarkan Inpres 13/thn 2005) sudah tidak layak. Harga pembelian pemerintah tersebut sudah terlalu rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi yang harus dikeuarkan petani dalam memproduksi padi. Kebijakan-kebijakan pertanian di Indonesia selama ini tidak berpihak kepada petani.  Apalagi semenjak penandatanganan AoA thn. 1994 dan penanda tanganan LoI dengan IMF thn. 1997 yang mendukung liberalisasi, privatisasi dan deregulasi berbagai sektor sebagai cara untuk mencapai “pertumbuhan” ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini menurut Khudori (2007) lebih memberikan keuntungan bagi penduduk kota dengan meningkat pesatnya kemiskinan di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Sementara itu distribusi dan managemen beras nasional yang selama ini tidak berjalan dengan baik semakin di perparah dengan privatisasi BULOG pada tahun 2003. Bulog yang berubah menjadi Perum telah semakin lemah dalam menjalankan “Public Service Obligationnya”.

Pada akhirnya diperlukan suatu perombakan yang mendasar dalam sistem produksi dan distribusi beras di negara ini. Sebagai sumber pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia, beras memiliki fungsi strategis dalam politik dan ekonomi di Indonesia. Dan para petani padi juga berhak untuk memperoleh kehidupan yang layak sebanding dengan kerja kerasnya untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2001. UU no.22/2001 Tentang peraturan minyak dan gas. akses: http://www. bpmigas.com/uu-migas.asp

Anonim.2007. Kepres No.34/2003 Tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan. http://www.gtzsfdm.or.id/documents/laws_n_regs/pre_decrees/Keppres34 _2003.pdf

Arifin, B. et al. 2001. Food Security and Markets in Indonesia: State-Private Sector Interaction in Rice Trade. MODE Inc. and SEA Council. Quezon City, Manila.

Bisnis Indonesia. 2007. Realisasi Dana Jaminan Petani Rendah. Bisnis Indonesia. Jakarta.

BPS. 2003.Sensus Pertanian. BPS. Jakarta.

Bulog.2004. Pola pendanaan cadangan beras. http://www.bulog.co.id/kajian%20 Ilmiah/BULOG%20BAB%20IV.pdf.

Departemen Pertanian. 2007. Permentan No.66/OT.140/12/2006. http://www. deptan.go.id/berita/01-2007/Permentan%20No.%2066%20tahun%202006.pdf.

Dirjen Sarana Pertanian. 2003. Alat sarana produksi padi. Buletin sarana pertanian. Jakarta

Fitrianto, 2004. Stabilitas Pangan Terancam, Lahan Menyempit, Irigasi Kacau. Kompas, 17 Mei 2004. Jakarta.

FSPI. 2006. Waspadai reforma agraria palsu. Pembaruan tani, November 2006. Jakarta.

FSPI.2006. Catatan akhir tahun FSPI.akses: http://www.fspi.or.id/index.php?option= com_content&task=view&id=374&Itemid=37

FSPI.2007. Alur real distribusi beras. FSPI. Jakarta.

FSPI.2007.Struggle Againist Agriclture Liberalism.FSPI. Jakarta.

Handoko & Patriadi. 2005.Evaluasi kebijakan non BBM. Kajian ekonomi dan keuangan no.4, vol.9, Bapekki. Jakarta.

Hernanda. 2007. Dupont Boleh Jual Bibit Padi Hibrida. Bisnis Indonesia. Jakarta.

Irawan. 2006. Fenomena anomali iklim El nino dan La nina, kecenderungan jangka panjang dan pengaruhnya terhadan produksi pangan. Forum penelitian agro ekonomi, Juli 2006 vol.24 no.1 Pusat analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Bogor.

Kariyasa, 2006. Dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja pertanian dan implikasinya terhadap penyesuaian harga gabah. Analisis kebijakan pertanian Maret 2006 vol.4 no.1 hal 54-68, Pusat Studi Ekonomi. Bogor.

Khudori. 2007. Petani, Kemiskinan, dan Reforma Agraria. Kompas. Jakarta.

Kompas.2005. Inpres No 2/2005 tentang Kebijakan Perberasan Tidak Menolong Petani .

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/07/ekonomi/1602750.htm

Kusumo, G. Girsang, E. dan Zaenudin, L. 2007. Impor Beras Dibuka Hingga Maret 2008. Bisnis Indonesia. Jakarta.

Nainggolan, K. Ekonomi politik perberasan nasional. Kompas, 17 Januari 2004.  Jakarta.

Pikiran Rakyat. 2005. Memasuki Musim Tanam
Petani di Jawa Barat Keluhkan Kelangkaan Pupuk. www.pikiranrakyat.com.

Pikiran Rakyat. 2006. Pemerintah godok subsidi bunga pertanian.Pikiran Rakyat 27 Juni 2006. Bandung.

Rahardi, F. 2007. Kultur Beras yang Memiskinkan. Kompas. Jakarta.

Siagian, V.2005. Menaikkan Harga BBM Akan Sulitkan Petani. Sinar harapan. Jakarta. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/pertambangan/2005/0719/tam2.html

Surono, I. 2003. Analysis of Marketing Chains of ‘Organic’ and Conventional Rice: A Case Study in Boyolali, Central Java, Indonesia. ELSPPAT. Jakarta.

Syumanda, R. 2005.Revolusi Hijau Gagal Mensenjahterakan Petani. http//.www.multiply.rully/com

Tempo Interaktif. 2005. Data Kadaluarsa Diduga Penyebab Kelangkaan Pupuk. www.tempointeraktif.com

USDA. 2007. Rice production and consumption. http://www.ers.usda.gov/ Briefing/Rice/data.htm

Wibowo, I. Wahono, F. 2003. Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Yogyakarta.

Winarso.2001. Penyimpangan Kondisi Cuaca dan Iklim Tahun 2001 dan El Nino 2001/2002. Kompas. Jakarta.

www.bps.co.id

www.bulog.co.id

YLBHI et al.2005. Siaran pers bersama YLBHI, WALHI, KSPA,ELSAM  mengenai Penetapan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. http://www.mail-archive.com/ indo-marxist@yahoogroups.com/msg00162.html.

—–Selesai——-